Epidemiologi
STROKE
Badan
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sekitar 15 juta orang terserang stroke
setiap tahunnya. Stroke merupakan penyebab kematian utama urutan kedua pada
kelompok usia diatas 60 tahun dan urutan kelima penyebab kematian pada kelompok
usia 15-59 tahun.
Di
Negara-negara maju, insidensi stroke cenderung mengalami penurunan setiap
tahunnya. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh pembatasan peredaran rokok
melalui penigkatan bea cukai rokok, serta peningkatan kepatuhan penderita
hipertensi mengontrol tekanan darahnya. Meskipun demikian, prevalensi (jumlah
kasus lama dan baru) penderita stroke terus bertambah seiring meningkatnya usia
harapan hidup di negara maju.
Sementara
itu, di Negara-negara miskin dan berkembang seperti Indonesia, insidensi stroke
cenderung meningkat setiap tahunnya meskipun sulit mendapatkan data yang
akurat. Fenomena peningkatan insidensi stroke di Negara miskin dan berkembang
disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya :
a. Minimnya
askes dan pemanfaatan jaminan pelayanan kesehatan;
b. Rendahnya
kepatuhan berobat secara teratur penderita penyakit kronis seperti hipertensi,
DM tipe 2, penyakit dan kelainan irama jantung dsb;
c. Pola hidup
yang tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, mengonsumsi alkohol, maupun
makanan cepat saji yang tinggi kadar kalori, garam, dan lemak yang berdampak
buruk bagi kesehatan;
d. Minimnya
komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai stroke yang dilakukan pemerintah
dan institusi kesehatan bagi masyarakat;
e. Lemahnya
kontrol pemerintah atas peredaran dan pembatasan usia merokok, yang tercermin dari
masih rendahnya bea cukai tembakau.
Guna
meningkatkan kesadaran masyarakat di seluruh duia terkait pencegahan,
pengobatan dan bahaya stroke, pada tanggl 29 Oktober diperingati sebagai HARI
STROKE SEDUNIA.
KASUS STROKE YANG DIKAJI SECARA EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF
FAKTOR RISIKO STROKE
Meskipun
stroke bisa menyerang segala usia, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
beberapa orang lebih rentan terserang penyakit yang berpotensi mematikan dan
menimbulkan kecacatan menetap ini.
Ada
beberapa faktor risiko yang menyebabkan seseorang lebih rentan terserang stroke
disbanding yang lainnya. Factor risiko tersebut dapat dikelompokkan menjadi
dua. Pertama, faktor risiko stroke
yang tidak dapat diubah yakni usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, rasa tau
etnik. Kedua, faktor risiko stroke
yang dapat diubah yakni hipertensi, kebiasaan merokok, penyakit dan kelainan
irama jantung, dan DM tipe 2.
Upaya
peningkatan kualitas komunikasi, penyebaran informasi, dan edukasi tentang
beberapa faktor stroke bagi masyarakat oleh pemerintah dan para pemangku
kepentingan dibidang kesehatan amat diperlukan guna menekan insidensi stroke,
maupun terjadinya stroke yang berulang.
FAKTOR RISIKO STROKE YANG TIDAK DAPAT DIUBAH
a.
USIA
Meskipun
stroke dapat menyerang segala usia, diketahui bahwa mereka yang berusia lanjut
lebih berisiko terserang penyakit dan berpotensi mematikan dan menimbulkan
kecacatan menetap.
Setelah
mencapai usia 55 tahun, risiko stroke meningkat dua kali lipat setiap
pertambahan usia 10 tahun. Dua pertiga kasus stroke diidap oleh mereka yang
berusia 65 tahun.
Angka
kematian stroke yang lebih tinggi banyak dijumpai pada golongan usia lanjut.
Kondisi ini didukung oleh fakta bahwa umumnya kematian pada wanita akibat
stroke lebih tinggi dibanding laki-laki karena umumnya wanita terserang stroke
pada usia yang lebih tua.
b.
JENIS
KELAMIN
Stroke
lebih banyak dijumpai pada laki-laki. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
laki-laki lebih berisiko terserang stroke dibandingkan wanita. Namun, kematian
akibat stroke lebih banyak dijumpai pada wanita disbanding laki-laki karena
umumnya wanita terserang stroke pada usia yang lebih tua.
Laporan
American Heart Association Statistics Subcommittee and Stroke Statistics
Subcommittee pada 2007 menyebutkan bahwa pada 2004 sekitar 61% kematian akibat
stroke di Amerika menimpa kaum wanita. Masih belum jelas apakah penyebab
kematian akibat stroke pada wanita yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki
diakibatkan proses penuaan (degeneratif) atau karena pengaruh hormon
pascamenopause.
Meskipun demikian,
keterkaitan faktor hormon pasamenopause didukung oleh penelitian dari Women`s
Health Initiative yang dimuat dalam jurnal yang sama, yang melibatkan sekitar
16.608 responden. Penelitian tersebut mengungkap bahwa pemakaian hormon
estrogen dan progesterone pada wanita pascamenopause meningkat risiko
terjadinya stroke tipe iskemik sebesar 44%. Namun tidak berpengaruh terhadap
stroke tipe pendarahan.
c.
RIWAYAT
KELUARGA
Faktor
genetik di dalam keluarga juga merupakan factor risiko stroke. Beberapa
penyakit seperti DM dan hipertensi diketahui dapat diturunkan secara genetic
dari seseorang kepada keturunannya. Dua penyakit tersebut merupakan factor
risiko stroke yang masih dapat dikontrol dengan pengobatan yang teratur dan
menerapkan pola hidup sehat.
Selain itu,
pola makan yang tidak sehat dalam satu keluarga, seperti kebiasaan mengonsumsi
makanan yang tingkat kadar kalori, garam dan lemak diketahui meningkatkan
risiko terjadinya stroke. Biasanya pola makan orangtua yang tidak sehat ini
diikuti oleh anak-anak hingga mereka beranjak dewasa.
Fakta yang
dikemukakan diatas mengingatkan kita akan pentingnya konsultasi dan pemeriksaan
kesehatan pranikah. Langkah ini dilakukan guna membangun generasi baru yang
sehat dan berkualitas. Sekuat mungkin, pilihlah calon pendamping hidup yang
sehat. Selain itu, jangan ragu untuk berkomunikasi dengan dokter anda jika
calon pendamping hidup anda ternyata mengidap penyakit kronis tertentu atau
memiliki riwayat kesehatan keluarga dengan penyakit kronis tertentu.
Selain itu, para orangtua jiga perlu menyadari bahwa mereka
merupakan panutan bagi anak-anak, termasuk dalam hal kebiasaan mengonsumsi
makanan dan minuman tertentu. Oleh karena itu, pastikan setiap hari anda hanya
mengonsumsi dan menyajikan makanan dan minuman yang halal, sehat, dan bergizi
seimbang bagi keluarga anda.
Jangan pula membiasakan merokok
didepan anak-anak anda, kecuali jika anda memang menginginkan mereka mengikuti
kebiasaan buruk merokok dikemudian hari. Kebiasaan merokok dirumah juga akan
merugikan anak-anak dan istri anda karena mereka menjadi perokok pasif.
Kerugian tak hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga ekonomi. Dampak buruk ini
bisa terhenti manakala anda memutuskan untuk berhenti dari kecanduan tembakau.
d.
RAS atau
ETNIS
Insidensi dan kematian akibat stroke di Amerika Serikat lebih
tinggi pada kelompok ras Afro-Amerika dibandingkan ras Eropa-Amerika. Namun, di
Indonesia pengaruh perbedaan faktor ras terhadap stroke tidak diketahui secara
pasti.
Selain ras, faktor kewilayahan
merupakan fakta menarik lain yang dapat kita kaji mengenai stroke di Amerika
Serikat. Di negeri Paman Sam ini, diketahui bahwa insidensi stroke didaerah
Tenggara Timur lebih tinggi dibandingkan Tenggara Barat Amerika. Fenomena ini
dikenal dengan istilah “SABUK STROKE” di Amerika Serikat. Fenomena sabuk stroke
kini diketahui berkaitan dengan pola makan yang tidak sehat, yakni tingginya
kadar garam pada masyarakat didaerah Tenggara Timur Amerika Serikat.
FAKTOR
RISIKO STROKE YANG DAPAT DIUBAH
A.
HIPERTENSI
Tekanan
darah yang optimal memungkinkan terjadinya aliran darah yang memasok oksigen,
glukosa, hormon, mineral, maupun pelbagai nutrisi penting bagi seluruh jaringan
tubuh, termasuk otak.
Tekanan
darah terdiri atas dua parlementer, yakni:
1. Tekanan
darah sistolik, merupakan tekanan yang dihasilkan ketika jantung berkontraksi
memompa darah keseluruh tubuh;
2. Tekanan
darah diastolic, menunjukkan tekanan ketika jantung dalam kondisi relaksasi
(istirahat).
Tekanan
darah dapat diukur menggunakan alat manometer atau tensimeter, baik manual maupun
otomatis. Tekanan darah yang dapat optimal bagi orang dewasa adalah 120/80
mmHg. Angka 120 mmHg menunjukkan tekanan darah sistolik, sedangkan angka 80
mmHg menunjukkan tekanan darah diastolik.
Pada
kondisi tertentu, tekanan darah dapat meningkatkan melebihi batas normal.
Kondisi ini dikenal sebagai hipertensi. Hipertensi yang berlangsung dalam
jangka waktu lama dan tidak diobati berisiko menimbulkan pelbagai penyakit
seperti kegagalan jantung kongestif, kelainan saraf mata, gagal ginjal maupun
stroke.
Orang
dewasa memiliki tekanan darah dalam batas normal, yakni 120/80 mmHg, memiliki
risiko stroke 50% lebih rendah dibandingkan penderita hipertensi. Oleh karena
itu, pemeriksaan tekanan darah dan pengobatan hipertensi secara teratur dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke.
Mereka yang tidak mengidap hipertensi
dianjurkan memeriksakan tekanan darahnya kedokter sekurang-kurangnya 6 bulan
sekali. Sedangkan, bagi mereka yang diketahui mengidap hipertensi perlu
mengontrol tekanan darahnya minimal sebulan sekali ke dokter. Selain itu,
patuhi aturan minum obat anti hipertensi agar terhindar dari pelbagai penyakit,
seperti stroke. Penerapan pola hidup yang sehat juga akan menghindarkan anda
dari stroke.
B.
MEROKOK
Merokok merupakan kebiasaan sekaligus gaya hidup yang
berdampak buruk bagi kesehatan. Asap meroko mengandung beberapa zat berbahaya
yang sering disebut sebagai oksidator. Zat oksidator ini menimbulkan kerusakan
pada dinding arteri. Dinding arteri yang rusak akibat asap rokok aka menjadi
lokasi penimbunan lemak, sel trombosit, kolestrol, dan terjadi penebalan
lapisan otot polos dinding arteri. Kondisi ini disebut sebagai aterotrombotik.
Aterotrombotik menyebabkan diameter rongga arteri menyempit.
Selain itu, aterotrombotik biasanya juga menyebabkan kerapuhan dinding pembuluh
arteri. Aterotrombosit menyebabkan aliran darah ke beberapa organ tubuh,
termasuk otak, tersumbat dan berisiko menimbulkan stroke.
Selain itu, kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko
terjadinya penyakit jantung, kanker paru-paru, gangguan kehamilan, disfungsi
seksual dsb. Rokok menimbulkan efek kecenderuan, ketika sekali anda memulai
kebiasaan buruk merokok, anda berpeluan besar terjerat oleh efek nikotin dan
sulit meninggalkan kebiasaan buruk ini dikemudian hari.
Kebiasaan merokok amat merugikan kesehatan individu maupun
lingkungan disekitarnya. Seorang apak yang menjadi perokok aktif, menularkan
dampak buruk dari asap rokok yang dihisapnya kepada istri dan anak-anaknya yang
tidak merokok. Mereka kerap disebut sebagai perokok pasif yang berisiko
mengidap pelbagai macam penyakit sebagaimana perokok aktif.
Jumlah populasi perokok aktif terus meningkatkan di sejumlah
Negara, terutama dinegara miskin dan berkembang, termasuk di Indonesia. Badan
Kesehatan seDunia (WHO) menyatakan bahwa Indonesia memiliki populasi perokok
terbanyak ketiga di kawasan Asia yang mencapai 146.860.000 jiwa. Jumlah perokok
yang besar ini memberi konsekuensi tingginya jumlah konsumsi rokok di Indonesia.
Menurut bank dunia, jumlah konsumsi rokok di Indonesia sekitar 6,6% dari
seluruh konsumsi rokok didunia.
Lebih jauh, beberapa penelitian kesehatan masyarakat
menunjukkan bahwa mayoritas perokok di Indonesia berasal dari keluarga miskin.
Penelitian FKM UI mengungkapkan bahwa masyarakat miskin menghabiskan tidak
kurang dari 30% pendapatannya untuk membeli rokok. Alokasi dana membeli rokok
bagi keluarga miskin ini menempati urutan kedua, setelah alokasi dana untuk
membeli beras. Artinya, alokasi dana untuk membeli rokok mengalahkan prioritas
anggaran untuk kesehatan maupun pendidikan.
Fakta bahwa rokok menyedot anggaran yang sangat besar dari
keluarga miskin membuat sebagian ahli ekonomi dan kesehatan masyarakat agar
program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin yang digulirkan
pemerintah Soesilo Bambang Yudoyono dan Juyuf Kalla (SBY-JK) beberapa waktu
lalu segera dihentikan karena dinilai tidak tepat sasaran. Pemerintah SBY-JK
dinilai secara tidak langsung memfasilitasi kebiasaan buruk merokok keluarga
miskin.
Penting pula diketahui bahwa dampak negative rokok akan
sangat bergantung pada beberapa banyak jumlah rokok yang dihisap seseorang
perhari, dan beberapa kebiasaan buruk tersebut berlangsung. Artinya, semakin
mudah usia seseorang mulai merokok,serta semakin banyak jumlah rokok yang
dikonsumsi perhari, maka risiko terserang beberapa penyakit, termasuk stroke,
semakin besar.
Mereka yang tergolong perokok berat yakni konsumsi rokok
lebih dari 40 batang rokok perhari memiliki risiko relative terserang stroke 2
kali lipat dibandingkan perokok ringan, yakni konsumsi kurang dari 10 batang
perhari. Risiko ini menurun secara drastis jika kebiasaan merokok dihentikan
selama dua tahun. Selain itu, jika mereka tidak lagi merokok hingga 5 tahun kedepan, risiko terjadinya
stroke menjadi sama dengan mereka yang bukan perokok (American Health
Association Statistics Subcommittee and Stroke Statistics Subcommittee, 2007).
C.
PENYAKIT
JANTUNG
Jenis
penyakit atau kelainan jantung yang meningkatkan risiko stroke adalah aritmia
jantung. Aritmia merupakan kelainan yang ditandai oleh detak jantung yang tidak
teratur. Kelainan detak jantung ini berpotensi menimbulkan suatu bekuan sel
trombosit. Yang dapat bermigrasi dari jantung dan menyumbat arteri di otak,
menimbulkan stroke tipe iskemik tromboemboli.
Penderita
Aritmia perlu mendapatkan pengobatan yang tepat guna menekankan risiko
terjadinya stroke. Berkonsultasilah pada dokter ahli jantung atau dokter
keluarga anda. Patuhilah jadwal minum obat anti aritmia anda agar risiko
terjadinya stroke dapat ditekan.
D.
DIABETES
MELLITUS
DM tipe 2
merupakan penyakit metabolisme yang ditandai dengan ketidakmampuan hormon
insulin mengontrol kadar gula darah (glukosa) dalam batas normal. Beberapa
parlementer yang digunakan untuk pengukuran glukosa pasien yang diduga mengidap
DM tipe 2 diantaranya :
1. Kadar
Glukosa Puasa;
2. Kadar
Glukosa 2 jam setelah makan (postprandial);
3. Kadar
Glukosa Sewaktu.
Jika
kadar glukosa penderita melebihi batas normal dari ketiga parlementer diatas,
besar kemungkinan penderita mengidap Diabete tipe 2 dan perlu diobati untuk
mengontrol kadar glukosanya dalam batas normal.
Sebagaimana
kita ketahui, kadar glukosa didalam darah dikendalikan dalam batas normal
beberapa hormon antara lain insulin yang dihasilkan oleh sel ẞ pankreas. Selain insulin, beberapa hormon lain
seperti ACTH juga berperan dalam mengatur kadar glukosa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ginanjar Wahyu, Genis dr.,2009. STROKE hanya menyerang orangtua ? Yogyakarta : PT. Bentang Pustaka